Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ
Akhir-akhir ini banyak pertanyaan dari beberapa penggemar melalui
twitter dan facebook, “kenapa mendukung Jokowi?”. Banyak penggemar berharap
bahwa sebagai musisi atau seniman seharusnya aku netral.
Tentu saja sebagian
besar penggemar itu juga “sedulur” dan “bregada” dari Jogja Hip Hop
Foundation yang selalu menemani kami dari panggung ke panggung. Karena tidak
mungkin aku menjawab pertanyaan, melalui tulisan ini, ijinkan aku menyapa
kalian semua dan menjelaskan alasan-alasan dengan bahasa yang paling
sederhana agar kalian bisa memahami.
Bagi kalian yang berumur 30 tahun ke bawah, tentu tidak pernah
benar-benar mengerti arti dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena
tidak merasakan susahnya jaman orde baru. Di jaman orde baru, kebebasan
berekspresi dan berpendapat dikekang, jika kalian mengkritik negara atau
pejabat, maka kalian akan dianggap subversif (pemberontak). Bahkan, jika kamu
menjadi bagian dari aktivis yang memperjuangkan demokrasi, kamu bisa saja
diculik atau mati dihilangkan. Sebuah unit yang dikenal dengan Tim Mawar
dibawah asuhan Prabowo Subianto, yang saat ini maju menjadi calon presiden
dibentuk untuk meredam para aktivis yang memperjuangkan demokrasi. Banyak teori
konspirasi di belakang kasus ini, termasuk para atasan Prabowo yang dulu ikut
menandatangani surat pemecatan dirinya. Aku memilih tidak mau berasumsi dan
berspekulasi, tapi punya tuntutan yang jelas agar segala misteri berbagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia itu bagaimanapun harus diungkap untuk rasa
keadilan, agar selamanya bangsa kita tidak dibangun dengan kebohongan demi
kebohongan. Karena yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan (Gus
Dur).
Sekarang, coba bandingkan dengan kenyamanan kita saat ini ketika
menggunakan twitter atau facebook untuk sekedar berbagi, curhat, atau bahkan
mengkritik negara, termasuk mention presiden kita @SBYudhoyono. Tapi yang harus
kalian ingat, bahwa kebebasan kita hari ini diperjuangkan dengan darah dan
nyawa oleh para aktivis mahasiswa. Sayangnya, setelah 16 tahun agenda
reformasi, demokrasi kita tersandra oleh partai-partai politik busuk yang hanya
peduli dengan kepentingan golongan mereka sendiri. Partai-partai politik yang
sebagian besar lahir paska ’98 itu sudah tidak lagi peduli dengan cita-cita
reformasi, juga sudah lupa dengan darah dan nyawa yang telah memperjuangkan
demokrasi sehingga saat ini mereka bisa berpolitik secara bebas. Bahkan
diktator Soeharto dihidupkan dari kubur dengan kalimat “isih penak jamanku to?”
Omong kosong! Kebebasan itu seperti udara, kita baru terasa arti pentingnya
ketika hal itu hilang dari kehidupan kita.
Dalam perjalanan Indonesia menjadi negara demokrasi sesungguhnya,
di pemilihan presiden 2014 ini secara natural seleksi alam terjadi, mereka yang
hanya mengamankan kepentingan kekuasaan berkumpul dalam satu koalisi bagi-bagi
kursi yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Rekam jejak para elite
partai-partai pendukungnya jauh dari kata bersih, tentu kalian masih ingat
korupsi sapi PKS, lumpur Lapindo Bakrie Ketum Golkar itu, korupsi dana haji
Surya Darma Ali, dan masih banyak lagi. Bahkan mereka menerima berbagai macam
ormas keagamaan yang sering mencederai prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam
barisan koalisinya.
Sebagai pendukung Jokowi, aku tidak gelap mata, aku tahu
eltie-elite partai di belakang Jokowi juga tidak sepenuhnya bersih. Bedanya
hanya karena mereka menurut dengan cara bersih yang digunakan oleh Jokowi dan
setuju untuk tidak bagi-bagi kekuasaan. Jokowi juga tidak mau disetir oleh
parpol pendukungnya termasuk PDI-P yang mengusungnya menjadi calon presiden,
itu kenapa Megawati menyerahkan semua keputusan koalisi dan cawapresnya kepada
Jokowi.
Tidak ada yang sempurna dari semua kandidat calon presiden, Jokowi
bukan nabi yang pantas didewakan, dia menempuh perjalanan sejengkal demi
sejengkal untuk mengembalikan kedaulatan dan menyatukan sebuah tekad yang sama
untuk Indonesia yang lebih baik. Jokowi adalah kehendak jaman, dan seperti
biasa, pasti banyak kepentingan dan kuasa yang ingin mencegahnya dengan cara
apa pun.
Seperti kita ketahui, di Indonesia politik uang sudah sedemikian
dahsyat merusak demokrasi dan mentalitas warganya. Para politikus menghalalkan
segala cara untuk berkuasa. Biaya politi yang sangat mahal itu tidak akan
sebanding dengan gajinya ketika menjabat, akibatnya korupsi membabi-buta mereka
lakukan ketika menjabat agar bisa balik modal. Belum lagi cukong-cukong yang
memodali kampanye minta dimuluskan semua proyek-proyeknya. Selamanya ekonomi
kerakyatan, kedaulatan pangan dan energi, tidak akan tercipta dari kondisi
semacam itu.
Bagiku Jokowi adalah pencerahan dan antitesis karena tidak mau
terjebak ke dalam lingkarang setan itu. Sebagaimana praktek demokrasi di negara
maju, Jokowi juga mengajak rakyat pendukungnya untuk menyumbang dana kampanye
dan penggunaannya dilaporkan secara terbuka. Kenapa demikian? Dia ingin
mengajak masyarakat pendukungnya untuk terlibat dalam “kegembiraan politik”
yang dia kampanyekan dengan patungan biaya kampanye, sehingga ketika menjabat
sebagai presiden, dia mengembalikan amanahnya untuk melayani rakyat. Karena
inti dari demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Apapun yang akan terjadi
setelah pilpres, siapa pun yang menang, pasti banyak warga negara Indonesia
yang akan bangga telah ikut memberikan sumbangsih bagi masa depan Indonesia
yang lebih baik dengan berdiri di belakang Jokowi.
Aku berharap apapun pilihan kalian lakukanlah dengan cerdas dan
mandiri, bukan karena citra, agama, partai, uang, dll. Citra? Selama 10 tahun
kita pernah dipimpin oleh presiden yang dipilih karena citra ganteng, pandai
bernyanyi, santun berpidato, dan kalian semua tahu apa hasilnya. Agama? Tidak
ada hubungannya antara agama dan politik, karena agama mengajarkan kebaikkan
dan cinta kasih, sementara politik mengajarkan sikap oportunis yang akan
mengesampingkan nila-nilai agama. Partai? Semua partai busuk dan aku bukan
simpatisan PDI-P, aku juga menghadang Prabowo ketika maju menjadi cawapres
Megawati di pilpres 2009, bedanya saat itu media sosial belum seheboh sekarang
ini. Uang? Politik uang adalah sumber dari segala sumber kejahatan
penyelenggaraan negara sebagaimana sudah aku jelaskan di atas.
Jangan memilih Jokowi karena aku mendukungnya, tapi memilihlah
karena kalian cerdas dan mau belajar sejarah bangsa ini. Jangan memilih Jokowi
karena aku menjadi relawannya, tapi memilihlah karena kalian punya prinsip yang
kuat dan tanpa rasa takut membela kebenaran! Jangan memilih Jokowi jika kalian
ingin menjadi bagian dari fitnah, sebab fitnah adalah sikap yang tidak kstaria
dan pecundang. Kecuali kalian rela menjadi bagian dari nilai-nilai yang busuk
dan kotor itu. Sahabatku Anies Baswedan pasti setuju, karena jika kalian
seorang muslim yang taat, kalian akan meneteskan air mata ketika diimami sholat
oleh Jokowi dengan bacaan ayat-ayat Al Qur’an secara tartil. Bagaimana orang
sebaik itu difitnah sedemikian rupa agar ketulusannya dibungkam.
Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah
ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa. Aku yang dulu
golput permanen, kali ini dipaksa keadaan dan nurani untuk harus berpihak
karena status negara dalam keadaan genting dan bahaya. Aku tidak mau demokrasi
kembali tersandra oleh maling-maling dan aku dipaksa keadaan untuk turun tangan
ikut memberikan andil menyelamatkannya.
Terakhir, dalam sebuah negara demokrasi yang kita sepakati
(kecuali tidak sepakat), dukung-mendukung adalah hak setiap warga negara,
sebagaimana golput juga hak yang dilindungi undang-undang. Tidak ada teori
bahwa seorang seniman atau musisi harus netral atau golput, apalagi menganggap
seniman netral sama dengan suci, itu omong kosong yang menggelikkan karena
tidak ada orang suci di muka bumi ini. Pada pemilihan presiden di Amerika,
Obama didukung oleh Jay-Z, Will-I-Am, Pearl Jam, Katty Perry, Tom Hanks, Steven
Spielberg, dan masih banyak lagi. Mereka bukan hanya bernyanyi di
panggung-panggung kampanye, tapi juga menyumbang dana dengan angka-angka yang
fantastis, bukan seperti artis-artis Indonesia yang justru minta bayaran sangat
tinggi ketika kampanye. Ironis ketika para musisi sering menuntut negara untuk
melindungi industrinya tapi di saat bersamaan ikut merusak demokrasi itu
sendiri.
Aku menjadi relawan Jokowi dan menyumbang lagu “Bersatu Padu
Coblos No.2” secara sukarela tanpa bayaran. Sebab pada titik akhir, aku hanya
ingin dikenang karena berkontribusi, bukan hanya pandai mengkritik. Pesanku,
jadilah pemilih yang cerdas, mandiri, dan bermartabat.
Salam Revolusi Mental!
Sumber disini
0 komentar:
Posting Komentar